Sumber: Salamuddin Daeng, peneliti di Indonesia for Global Justice, “Bom Waktu
dalam Krisis Uni Eropa”. Juli 23, 2012. http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/07/23/bom-waktu-dalam-krisis-uni-eropa/
Krisis finansial Uni Eropa dapat meledak sewaktu-waktu
jika tidak disikapi dengan cermat. Banyak analisis muncul dalam melihat krisis
yang melanda Uni Eropa (EU) saat ini. Namun, menarik juga untuk memahami
bagaimana anatomi krisis tersebut dan penularannya secara struktural terhadap
perekonomian Indonesia.
Krisis EU bukanlah semata-mata krisis keuangan, atau
krisis utang pemerintah, atau krisis akibat pertumbuhan yang rendah, tetapi
krisis ekonomi yang sifatnya struktural dalam tiga dimensi krisis utama d bawah
ini.
Pertama, kelebihan produksi barang/jasa
pada tingkat EU dan global (overproduction) yang tidak dapat diserap pasar
(underconsumption) karena daya beli mayoritas masyarakat yang semakin rendah.
Sebagai contoh, over produksi pangan terjadi saat lebih dari 1 miliar manusia
di muka bumi menurut World Health Organization (WHO) mengalami kelangkaan
pangan.
Kedua, adanya konsentrasi uang dan
kapital di tangan segelintir pemain pasar keuangan, yang tidak dapat diekspansi
dalam kegiatan produksi barang maupun jasa (overaccumulation), sehingga hanya
diekspansi lewat utang dan pasar keuangan (money to money).
Ketiga, transaksi pasar keuangan derivatif
yang besar (financial buble) yang tidak sebanding dengan produksi riil, akibat
liberalisasi sektor finansial. Produk pasar keuangan derivatif global mencapai
US$ 600 triliun, sementara produksi riil barang dan jasa (PDB) dunia hanya
sekitar US$ 60 triliun.
Jika melihat fundamen krisis ini, masalahnya menjadi
jelas, bahwa ekonomi tengah berada dalam ketidakseimbangan yang dalam
(unbalance).
Dengan demikian, para analis mestinya memperhatikan
bahwa tidak mungkin meningkatkan pertumbuhan sementara ekonomi mengalamai over
produksi, demikian pula dengan perluasan investasi. Sementara itu, pasar
keuangan derivatif tidak mungkin diperluas lagi karena gelembungnya telah
pecah.
Penulis berpendapat ada yang keliru dalam cara
penanganan krisis ini, sehingga justru semakin memperparah keadaan. Sejauh ini
langkah penanganan yang dilakukan EU, bersama Dana Moneter Internasional (IMF),
seperti membenamkan bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak dan
memorak-porandakan ekonomi EU.
Memperkaya Spekulan
Skema penyelesaian krisis yang disponsori Jerman, IMF,
G-20, yang berkutat pada reformasi sektor keuangan sejauh ini tidak dapat
mendinginkan krisis. Justru yang terjadi sebaliknya, negara-negara yang
mengalami krisis malah berhadapan dengan kekacauan politik nasional
berkepanjangan.
Kebijakan dana talangan perbankan, stimulus fiskal,
bunga rendah, austerity, justru merugikan kepentingan negara-negara krisis dan
menguntungkan negara pemberi utang.
Sebagai contoh dari total utang Yunani sebesar € 400
miliar (252 persen dari PDB), sebagian besar berasal dari Prancis sebesar €
41.1 miliar, Jerman sebesar € 15.9 miliar, Inggris sebesar € 9,4 miliar dan
dari Amerika Serikat sebesar € 6,2 miliar (BBC News, November 2011). Dengan
begitu, konteks penyelamatan yang dilakukan negara besar bukan untuk Yunani,
melainkan untuk menyelamatkan uang negara besar itu sendiri.
Dalam rumus penyelesaian krisis EU, ada tiga hal yang
dihasilkan: pertama, terkurasnya pajak rakyat dari negara-negara yang terkena
krisis sebagai dana talangan bagi sektor swasta perbankan, yang notabene adalah
investasi luar negeri.
Kedua, terkurasnya anggaran nasional dari
negara-negara yang mengalami krisis ke tangan negara pemberi utang, seperti
Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.
Ketiga, terkurasnya dana rakyat dan anggaran negara
dari negara-negara yang terkena krisis dan negara miskin lainnya seperti
Indonesia, berpindah ke tangan sektor swasta, khususnya pemain pasar keuangan.
Modus pengumpulan uang melalui G-20 dan IMF
mengindikasikan rencana semacam itu. Dengan demikian, potensi penularan krisis
ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, sangat mungkin terjadi dalam jangka
pendek.
Ini terjadi ketika negara besar menarik utang dan
investasi luar negeri mereka dalam rangka menyelamatkan EU terlebih dahulu.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, semakin terindikasi
bahwa krisis EU dan krisis keuangan global tidak lain adalah strategi memperkaya
perusahaan swasta, pemain pasar keuangan, dan lembaga keuangan regional dan
global. Sementara itu, krisisnya dibiarkan terus bergulir sebagai mekanisme
sentralisasi kapital semacam itu.
Menanam Bom Waktu
Krisis EU memang akan berlangsung panjang, namun
sangat bergantung pada cara pemerintahan EU menanganinya. Krisis ini juga bisa
menimbulkan kebangkrutan EU dalam tempo yang sangat singkat. Jika skema
kebijakan yang dijalankan salah, ini justru akan menimbulkan gejolak baru.
Sebagai contoh, kebijakan dana talangan dan kebijakan
dana talangan perbankan justru menimbulkan beban utang dan bunga yang semakin
besar dan menjadi bom waktu di masa depan. Demikian juga dengan stimulus fiskal
dan suku bunga rendah sama sekali tidak dapat membantu pergerakan ekonomi,
karena kebijakan semacam itu telah lazim dilakukan pada era sebelum krisis.
Bagaimana mungkin, solusi utang yang dijawab dengan
utang baru, masalah yang ditimbukan finansialisasasi anggaran negara dijawab
dengan sentralisasi lembaga talangan dan pengawasan perbankan pada tingkat
regional atau global, serta masalah rendahnya pertumbuhan justru dijawab dengan
stimulus fiskal bagi sektor swasta yang dapat menekan anggaran negara. Semuanya
jelas merupakan solusi keliru.
Mestinya krisis dijawab dengan formulasi antikrisis,
tesis dijawab dengan antitesis. Utang pemerintah harus dijawab dengan
pemotongan utang, melalui audit terhadap utang bermasalah terlebih dahulu.
Dengan demikian, negara-negara anggota EU yang menjadi episentrum krisis dapat
menekan pengeluaran mereka untuk cicilan utang dan bunga.
Rusaknya sistem keuangan akibat penyatuan mata uang,
harusnya dijawab dengan memperbaiki kembali institusi keuangan pada setiap
negara, memperkuat kembali kemandirian sektor keuangan masing-masing negara
sehingga tidak rentan terhadap gejolak regional atau global.
Demikian pula halnya masalah rendahnya pertumbuhan
ekonomi, tidak dapat dijawab dengan bunga rendah dan stimulus fiskal, yang
justru akan semakin memperparah penerimaan negara.
Kemampuan penerimaan negara harus diperbesar dengan
meningkatkan pajak bagi sektor swasta, terutama transaksasi keuangan, karena
sektor inilah yang harus diregulasi secara ketat dengan memberi beban besar
pada transaksi sektor keuangan. Strategi ini juga bisa menahan spekulasi dan
arus keluar uang (capital outflow) dari suatu negara.
Jadi, cara pengambil kebijakan EU menjawab krisis,
ibarat masalah dijawab dengan masalah baru, tesis dijawab dengan tesis yang
baru. Ini tentu saja tidak akan menghasilkan kemajuan, namun justru akan memperparah
dan menjadi bom waktu yang dapat meledak setiap saat. (Sumber: Sinar Harapan,
20 Juli 2012).
[1]
Sumber: Salamuddin Daeng, peneliti di Indonesia for Global Justice, “Bom Waktu
dalam Krisis Uni Eropa”. Juli 23, 2012. http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/07/23/bom-waktu-dalam-krisis-uni-eropa/
No comments:
Post a Comment